BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam_merupakan_ajaran_yang Syamil (universal), kamil (sempurna),_dan_mutakamil (menyempurnakan)
yang diberikan oleh Allah yang diangkat sebagai Khalifah(pemimpin)
di bumi ini yang berkewajiban untuk memakmurkannya baik secara material maupun
secara spiritual dengan landasan aqidah dan syari’ah yang masing-masing akan
melahirkan peradaban yang lurus dan akhlaqul karimah (perilaku
mulia).
Islam
dalam menentukan suatu larangan terhadap aktivitas duniawiyah tentunya memberi
hikmah yang akan memberikan kemaslahatan, ketenangan dan keselamatan hidup
didunia maupun di akhirat. Namun demikian, Islam
tidak melarang begitu saja kecuali di sisi lain ada alternatif konsepsional
maupun operasional yang diberikannya. Misalnya saja larangan terhadap riba, alternatif
yang diberikan Islam dalam rangka rrienghapus riba dalam
praktek mu’amalah yang dilakukan manusia melalui dua jalan.
Jalan yang pertama, berbentuk shadaqah ataupun qardhul hasan (pinjaman
tanpa adanya kesepakatan kelebihan berupa apapun pada saat pelunasan) yang
rnerupakan solusi bagi siapa saja yang melakukan aktivitas riba untuk
keperluan biaya hidup (konsumtif) ataupun usaha dalam skala mikro. Sedangkan
jalan yang kedua adalah melalui sistem perbankan Islam yang di dalamnya
menyangkut perighimpunan dana melalui tabungan mudharubah, deposito musyawarah dan
giro wadiah yang kemudian disalurkan melalui pinjaman dengan
prinsip tiga hasil (seperti mudharabah, musyarakah), prinsip
jual beli (bai’ bithaman ajil, mudarabah dan
sebagainya) serta prinsip sewa/fee (Ijarah, bai’at takjiri dan
lain-lain). Dari kedua jalan di atas, secara sistematik diatur dan dikelola
melalui kelembagaan yang dalam istilah Islam disebut Baitul Maal wat
Tamwil.[1]
BAB II
BAITUL
MAL WA TAMWIL
A. Pengertian
Baitul Mal Wa Tamwil
Baitul
mal wa tamwil adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan
dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan
bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat martabat dan serta
membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua
fungsi Baitul Tamwil (Bait = Rumah, At
Tamwil = Pengembangan Harta). Jadi BMT adalah balai usaha mandiri
terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan
kegiatan mengembangkan usaha-usaha proktif dan investasi dalam meningkatkan
kualitas kegitan ekonomi pengusaha bawah dan kecil dengan antara lain mendorong
kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan.[2]
Baitul mal wa tamwil atau pendanaan balai usaha mandiri terpadu adalah lembaga
ekonomi atau keuangan mikro yang dioperasikan berdasarkan prinsip bagi hasil
dan disebut sebagai lembaga keuangan syariah non perbankan yang sifatnya informal.
Disebut informal karena lembaga ini dibentuk atau didirikan oleh kelompok
swadaya masyarakat (KSM) yang berbeda dengan lembaga keuangan perbankan dan
lembga keuangan formal lainnya. Sebagai lembaga keuangan ia bertugas menghimpun
dana dari masyarakat (anggota BMT) dan menyalurkan dana kepada masyarakat
(anggota BMT). Sebagai
lembaga ekonomi ia juga berhak melakukan kegiatan ekonomi, seperti perdagangan,
industri, dan pertanian.
Dengan
begitu, BMT dikelola secara profesional sehingga mencapai tingkat efisiensi
ekonomi tertentu, demi mewujudkan kesejahteraan anggota, seiiring penguatan
kelembagaan BMT itu sendiri. Pada sudut pandang sosial, BMT (dalam hal
ini baitul mal) berorientasi pada peningkatan kehidupan anggota
yang tidak mungkin dijangkau dengan prinsip bisnis. Stimulan melalui dana ZIS
akan mengarahkan anggota untuk mengembangkan usahanya, untuk pada akhirnya
mampu mengembangkan dana bisnis.[3]
B. Sejarah
dan Perkembangan BMT di Indonesia
Sejarah
BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid
Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi
usaha kecil. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia) sebagai sebuah gerakan yang secara operasional ditindaklanjuti oleh
Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK).
BMT membuka kerjasama dengan lembaga pemberi pinjaman dan peminjam bisnis
skala kecil dengan berpegang pada prinsip dasar tata ekonomi dalam agama Islam
yakni saling rela, percaya dan tanggung jawab, serta terutama sistem bagi
hasilnya. BMT terus berkembang. BMT akan terus berproses dan berupaya mencari
trobosan baru untuk memajukan perekonomian masyarakat, karena masalah muamalat
memang berkembang dari waktu ke waktu. BMT begitu marak belakangan ini seiring
dengan upaya umat untuk kembali berekonomi sesuai syariah dan berkontribusi
menanggulangi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Karena
prinsip penentuan suka rela yang tak memberatkan, kehadiran BMT menjadi angin
segar bagi para nasabahnya. Itu terlihat dari operasinya yang semula hanya
terbatas di lingkungannya, kemudian menyebar ke daerah lainnya. Dari semua ini,
jumlah BMT pada tahun 2003 ditaksir 3000-an tersebar di Indonesia, dan tidak
menutup kemungkinan pertumbuhan BMT pun akan semakin meningkat seiring
bertambahnya kepercayaan masyarakat.
Seperti
halnya lembaga keuangan syariah yang lainnya BMT dala kegiatan operasionalnya
menggunakan 3 prinsip, yaitu:
1. Prinsip bagi
hasil
a) Mudharabah
b) Musyarakah
c) Muzara’ah
d) Musaqah
2. Jual beli dengan margin (keuntungan);
a) Murabahah
b) Ba’i As-Salam
c) Ba’i Al-Istisna
3. Sistem profit
lainnya;
Kegiatan operasional
dalam menghimpun dana dari masyarakat dapat berbentuk giro wadi’ah, tabungan
mudharabah, deposito
investasi mudharabah, tabungan
haji, tabungan qurban.
Baitul
Mal Wa Tamwil suatu lembaga keuangan mikro
syariah yang digerakan awal tahun sembilan puluhan oleh para aktivis muslim
yang resah melihat keberpihakan ekoonomi negara yang tidak berpihak
kepada Pelaku ekonomi kecil dan menengah.[4]
C. Dampak Perkembangan dan
Pertumbuhan BMT di Indonesia
1.
Membangkitkan usaha mikro di kalangan masyarakat menengah ke bawah.
2.
Membantu
masyarakat dalam hal simpan pinjam.
3.
Meningkatkan taraf hidup melalui mekanisme kerja sama ekonomi dan bisnis
4.
Dengan adanya BMT maka tidak terjadi penimbunan uang karena uang terus
berputar
5.
Memperluas
lapangan pekerjaan khususnya didalam sector riil.
D. Kendala
1.
BMT masih
kurang di kenal oleh masyarakat luas, sehingga jumlah nasabahnya pun tidak
terlalu banyak
2.
Kurang promosi terhadap lembaga itu sendiri, maka Kepercayaan masyarakat
terhadap BMT masih kurang
3.
Mayoritas orang – orang kota mempunyai rasa gengsi untuk menabung dalam
jumlah kecil
4.
minimnya modal yang dimiliki oleh lembaga BMT.[5]
E. Peghimpunan
dan Penyaluran Dana BMT
1. Penghimpunan
dana
Penghimpunan
dana BMT diperoleh melalui simpanan, yaitu dana yang dipercayakan oleh nasabah
kepada BMT untuk disalurkan kesektor produktif dalam bentukk pembiayaan.
Simpanan ini dapat berbentuk tabungan wadi’ah, simpanan mdharabah jangka pendek
dan jangka panjang.
2. Penyaluran dana
Penyaluran
dana BMT kepada nasabah terdiri atas dua jenis:
a) Pembiayaan
dengan sistem bagi hasil
b) Jual
beli dengan pembayaran ditangguhkan
Pembiayaan
merupakan penyaluran dana BMT kepada pihak ketiga berdasarkan kesepakatan
pembiayaaan antara BMT dengan pihak lain dengan jangka waktu tertentu dan
nisbah bagi hasil yang disepakati.
Pembiayaan dibedakan menjadi pembiayaan musharabah dan musyarakah. Penyaluran
dana dalam bentuk jual beli dengan pembayaran ditangguhkan adalah penjualan
barang dari BMT kepada nasabah, dengan harga ditetapkan sebesar biaya perolehan
ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati untuk keuntungan BMT.[6]
F. Problematika
BMT
Dengan
segala kekurangan, kelebihan, keunggulan dari BMT, problematika tetap saja ada,
antara lain :
1. Modal
Modal
yang relatif kecil menjadi permasalahan yang setiap saat ada pada BMT. Didukung
dengan perputaran modal yang belum tentu kembali 100 % untuk BMT. Diperlukan
adanya suntikan dana yang cukup baik dari pemerintah atau pihak-pihak yang
tertarik untuk berinvestasi di BMT.
2. Kredit Macet
Lambatnya
angsuran yang diterima oleh BMT menjadi alasan yang klasik bagi BMT. Persoalan
ini sudah menjadi santapan tiap terjadi akad-akad pembiayaan walaupun tidak
semua peminjam selalu bermasalah.
3. Likuiditas
Dengan
modal yang relatif kecil dan diharuskan terjadi perputaran untuk memperoleh
laba, di samping dana pihak ketiga juga ikut diputar agar dana yang disimpan
memperoleh bagi hasil, maka BMT akan mengalami permasalahan likuiditas jika
tidak dapat memenuhi permintaan uang oleh nasabah.
4. Pangsa Pasar
Pasar
yang digarap oleh BMT (Dana Mentari) adalah terbatas lingkup kabupaten,
sehingga jika diambil sebuah analisis, di kabupaten Banyumas tidak terdapat
industri-industri yang besar sehingga kurang mendukung adanya BMT sebagai
intermediasi. Selain itu, pangsa pasar di Purwokerto sudah terbatas karena saat
ini banyak bank yang sudah masuk ke dalam kegiatan ekonomi skala kecil.[7]
G. Peran
BMT Sebagai Lembaga Keuangan Syariah Terhadap Perekonomian Masyarakat.
Hernandi
de Soto dalam bukunya The Mystery of Capital (2001) menggambarkan betapa
besarnya sektor ekonomi informal dalam memainkan perannya dalam aktivitas
ekonomi di negara berkembang. Ia juga mensinyalir keterpurukan ekonomi di
negara berkembang disebabkan ketidakmampuan untuk menumbuhkan lembaga
permodalan bagi masyarakatnya yang mayoritas pengusaha kecil.
Indonesia
misalnya, adalah negara berkembang yang jumlah pengusaha kecilnya mencapai
39.04 juta jiwa. Namun para pengusaha kecil tersebut tidak memiliki akses yang
signifikan ke lembaga perbankan, sebagai lembaga permodalan. Lembaga-lembaga
perbankan belum bisa menjangkau kebutuhan para pengusaha kecil, terutama di
daerah dan pedesaan.
Belum
adanya lembaga keuangan yang menjangkau daerah perdesaan (sektor pertanian dan
sektor informal) secara memadai yang mampu memberikan alternatif pelayanan
(produk jasa) simpan-pinjam yang kompatibel dengan kondisi sosial kultural
serta ‘kebutuhan’ ekonomi masyarakat desa menyebabkan konsep BMT (Baitul Mal
wat Tamwil) dapat ‘dihadirkan’ di daerah kabupaten kota dan bahkan di
kecamatan dan perdesaan.
Konsep
BMT sebagai lembaga keuangan mikro syari’ah, merupakan konsep pengelolaan
dana (simpan-pinjam) di tingkat komunitas yang sebenarnya searah dengan konsep
otonomi daerah yang bertumpu pada pengelolaan sumber daya di tingkat
pemerintahan (administrasi) terendah yaitu desa.
Mengutip
formulasi Bambang Ismawan (1994) tentang lembaga keuangan mikro,
maka setidaknya terdapat beberapa hal yang diperankan BMT dalam otonomi
daerah :
1. Mendukung
pemerataan pertumbuhan
Pelayanan
BMT secara luas dan efektif sehingga akan terlayani berbagai kelompok usaha
mikro. Perkembangan usaha mikro yang kemudian berubah menjadi usaha kecil, hal
ini akan memfasilitasi pemerataan pertumbuhan.
2. Mengatasi
kesenjangan kota dan desa
Akibat
jangkauan BMT yang luas, bisa meliputi desa dan kota, hal ini merupakan
terobosan pembangunan. Harus diakui, pembangunan selama ini acap kali kurang
adil pada masyarakat desa, sebab lebih condong mengembangkan kota. Salah satu
indikatornya adalah dari derasnya arus urbanisasi dan pesatnya perkembangan
keuangan mikro yang berkemampuan menjangkau desa, tentu saja akan mengurangi
kesenjangan desa dan kota.
3. Mengatasi
kesenjangan usaha besar dan usaha kecil
Sektor
yang selama ini mendapat akses dan kemudahan dalam mengembangkan diri adalah
usaha besar, akibatnya timbul jurang yang lebar antara perkembangan usaha besar
dan semakin tak terkejar oleh usaha kecil. Dengan dukungan pembiayaan usaha
kecil, tentunya hal ini akan mengurangi kesenjangan yang terjadi.
4. Mengurangi
capital outflow
Perkembangan
kota-kota besar yang sedemikian pesat, semakin meninggalkan pertumbuhan
daerah-daerah pedesan. Lembaga keuangan mikro syari’ah BMT lebih berkemampuan
memfasilitasi agar tabungan dari masyarakat desa atau daerah terkait, dapat
memanfaatkan kembali tabungan yang telah mereka kumpulkan.
5. Meningkatkan kemandirian
daerah
Dengan
adanya faktor-faktor produksi (capital, tanah, SDM) yang merupakan kekuatan
dimiliki oleh daerah, dimanfaatkan dan didayagunakan sepenuhnya untuk
memanfaatkan berbagai peluang yang ada, maka ketergantungan terhadap investasi
dari luar daerah (maupun luar negeri) akan terkurangi, serta investasi ekonomi
rakyat, dapat berkembang pesat.
Adanya
pemerataan pertumbuhan, terjadinya keseimbangan pertumbuhan kota dan desa,
berkurangnya kesenjangan usaha besar-usaha kecil, tentunya hal ini akan
mengurangi kemungkinan ketidakstabilan daerah. Kecemburuan sosial dengan
sendirinya akan terkurangi, sebab adanya kesejahteraan yang merata akan
menimbulkan multiplier effect maupun interdependensi antar satu bagian dengan
bagian yang lain.
Era
otonomi daerah merupakan peluang untuk memberdayakan ekonomi rakyat dengan
memanfaatkan lembaga keuangan mikro syariah BMT. Melalui keuangan mikro
syariah, kebangkitan ekonomi rakyat (sekaligus ekonomi nasional) maupun
pengurangan kemiskinan, akan dilakukan oleh rakyat sendiri. Memang telah tiba
saatnya, masyarakat menemukan jalannya sendiri untuk mengatasi persoalan yang
mereka hadapi.[8]
BAB II
PENUTUP
A. Simpulan
BMT
adalah aktor-aktor daerah yang sangat berperan penting dalam pengembangan Dalam
era otonomi daerah,. Sebab bagaimanapun juga, untuk memfasilitasi pengembangan
keuangan mikro syariah tersebut, diperlukan suasana yang kondusif, misalnya
dukungan peraturan-peraturan yang memfasilitasi pengembangannya maupun
melindungi keuangan mikro itu sendiri, bukan malahan menghambat atau
mematikannya. Tentu aturan merupakan satu faktor untuk pengembangan keuangan
mikro, faktor lain adalah para pelaku maupun stakeholders yang terlibat di
daerah.